ETIKA
KEHAKIMAN
(Lawyer)
(Lawyer)
A.
PENGERTIAN HAKIM
Qhadi yang berasal dari kata
قضى
– يقضى
– قاض
artinya memutus. Sedangkan menurut bahasa adalah orang yang bijaksana atau
orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya. Adapun pengertian menurut
syar'a yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam
menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselisihan dalam bidang hukum perdata
oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan, sebagaimana
Nabi Muhammad SAW telah mengangkat qhadiuntuk bertugas menyelesaikan sengketa
di antara manusia di tempat-tempat yang jauh, sebagaimana ia telah melimpahkan
wewenang ini pada sahabatnya. Hal ini terjadi pada sahabat dan terus berlanjut
pada Bani Umayah dan Bani Abbasiah, diakibatkan dari semakin luasnya wilayah
Islam dan kompleknya masalah yang terjadi pada masyarakat, sehingga diperlukan
hakim – hakim untuk menyelesaikan perkara yang terjadi.
Hakim sendiri adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk mengadili.Sedangkan dalam Undang-undang kekuasaan
kehakiman adalah penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.Dengan demikian hakim
adalah sebagai pejabat Negara yang diangkat oleh kepala Negara sebagai penegak
hukum dan keadilan yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang telah
diembannya menurut Undang-undang yang berlaku.
Adapun pengertian
qadhi sendiri ada beberapa makna yaitu :
a.
Menyelesaikan
seperti dalam Firman Allah :
فلماقضىزيدمنهاوطرازوجناكها
b.
Menunaikan
dalam firman Allah
فإذاقضيةالصلوةفانتشروافىالأرض...
c. Menghalangi atau
mencegah yang artinya hakim bisa melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar, menolong
yang teraniaya dan menolak kez}oliman yang merupakan kewajiban.
B.
DASAR HUKUM ETIKA KEHAKIMAN (AL-QUR’AN DAN SUNNAH)
Pengadilan yang mandiri (independent), netral (tidak berpihak) dan
kompeten merupakan salah satu unsur penting dalam sebuah Negara yang
berdasarkan hukum.Karena itu, pengadilan yang memiliki semua kriteria dimaksud,
dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia.Sebagai aktor utama lembaga peradilan,
posisi dan peran hakim menjadi sangat penting, terutama segala
kewenangannya.Melalui putusannya, seorang hakim dapat mengalihkan hak
kepemilikian seseorang, mencabut kebebasan warga Negara, menyatakan tidak sah
tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, bahkan dapat
memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang.Semua kewenangan Pengadilan
dimaksud, harus dilakukan dalam menegakkan hukum untuk mewujudkan
keadilan.Putusan Pengadian yang diucapkan oleh Hakim “Demi Keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan bahwa kewajiban menegakkan hukum tidak
hanya dipertanggung-jawabkan secara horizontal kepada sesema manusia, tetapi
juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Salah satu yang menjadi sorotan dalam masalah penegakan hukum dan
penyelenggaraan pengadilan adalah kelemahan kinerja, kualitas dan intergritas
hakim.Hal ini menyebabkan kepercayaan masyarakat menurun terhadap lembaga
PengadilanPeradilan di dalam hukum Islam dikenal dengan istilah
“al-Qadla”.Dasar hukum peradilan/qadla, secara implisit terdapat dalam
ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain Surah Shad ayat 36 tentang perintah memberikan
putusan dengan adil di antara sesama manusia.
Kalau ditelaah Kitab Suci Al-Qur’an, maka ditemukan ayat-ayat di
dalam Al-Qur’an yang membicarakan masalah perilaku aparat penegak hukum
(hakim/qadli) dalam bertindak dan
hal-hal yang tidak boleh dilakukan dalam penegakan hukum.Hal dimaksu, Hakim
dalam pandangan hukum Islam merupakan sebuah tugas luhur sebagai pencipta
keadilan yang dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT, menuntut suatu
persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang hakim.
Peraturan perundang-undangan mensyaratkan sifat-sifat yang harus
dimiliki oleh hakim seperti : jujur, merdeka, bebas dari pengaruh baik dari
dalam maupun dari luar, adil dan berkelakuan tidak tercela. Sifat tersebut pada
dasarnya adalah selaras dan merupakan butir-butir ajaran Islam.Oleh karena itu,
penyimpangan yang dilakukan oleh seorang hakim dalam menjalankan profesinya
pada dasarnya adalah penyimpangan terhadap hukum Islam.Hal ini sesuai sabda
Muhammad Rasulullah SAW telah memberikan contoh suri tauladan yang baik bagi
hakim yang adil. Hadits dimaksud sebagai berikut :
لَوْأَنَّفَاطِمَةَبِنْتَمُحَمَّدٍسَرَقَتْ،لَقَطَعْتُيَدَهَا
Artinya : “Seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti potong
tangannya”[1]
Kode Etik Profesi Hakim dan Pedoman Perilaku Hakim (Judicial Code
of Conduct) dalam menangani dan memutus perkara.[2]
Dalam khazahan Fiqh al-Islamy, Kode Etik Profesi Hakim mendapat
perhatian yang mendalam.Sebelum menentukan perilaku para Hakim (Adab
al-Qudlat), fara fuqaha menentukan terlebih dahulu syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang Qadli (Hakim). Imam Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah
Al-Maqdisy di dalam kitabnya Al-Muqny
mensyaratkan sepuluh sifat yang harus dimiliki oleh seorang hakim, yaitu
: baligh, berakal, laki-laki, merdeka, muslim, adil, bisa mendengar, melihat,
berbicara dan berijtihad.
seorang hakim harus membiasakan diri (mulazamah) dengan adab-adab
(tingkah laku) tertentu demi lancar dan baiknya suatu proses persidangan dalam
rangka penegakan keadilan masyarakat. tentang sifat-sifat dan sikap-sikap yang
harus dimiliki oleh seorang hakim. Diantara sifat-sifat tersebut adalah :
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, jujur, adil, bijaksana dan berkelakuan
tidak tercela. Adapun sikap-sikapnya adalah : tidak memihak, tegas, sopan dan
sabar serta memberi tauladan yang baik.
C.
PANDANGAN ISLAM TERHADAP LAWYER
Menjadi pengacara yang membela orang yang dizalimi, boleh dan tidaknya,
dikembalikan pada status pembelaannya terhadap hak orang tersebut.Jika hak
orang yang dizalimi tersebut merupakan hak yang ditetapkan oleh syariah.
Contoh: seorang pengemban dakwah, khatib atau ulama yang menyampaikan dakwah,
kemudian ditangkap dan dipenjara, maka dengan tegas Islam menyatakan orang
tersebut harus dibela dan dikeluarkan dari penjara, karena kebebasan untuk
menyampaikan dakwah dan kalimat al-haq adalah hak yang ditetapkan oleh syariah.
Dalam kasus seperti ini, pembelaan yang dilakukan oleh pengacara untuk
menghilangkan kezaliman dan membebaskannya dari penjara merupakan pekerjaan
yang bukan saja dibolehkan oleh syariah, tetapi hukumnya juga wajib. Contoh
lain, ketika ada orang yang menjadi korban pencurian atau perampokan, dengan tegas
Islam menetapkan bahwa harta orang tersebut yang dicuri harus dikembalikan.
Karena itu, jika seorang pengacara membela orang seperti ini dalam rangka
menuntut haknya, maka profesi dan tindakan pengacara dalam membela kasus
seperti ini merupakan profesi dan tindakan yang dibolehkan., Qadhi adalah
pekerjaan yang sangat berat dan beresiko dalam Islam, Rasulullah
–shallallahu’alaihi wasallam– memperingatkan umatnya agar berhati-hati dalam
mengemban amanat itu.
“Apakah Hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki?!Siapakah yang lebih
baik (hukumnya) dari Allah, bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?!” (QS.
Al-Ma’idah: 50) Karena pekerjaannya haram, maka gaji yang didapat pun jadi
haram, wallahu a’lam. Ketiga: Insya Allah masih banyak pekerjaan lain yang
mudah, halal, dan menghasilkan. Tapi jika terpaksa harus berkecimpung dengan
dunia hukum, maka yang lebih aman dan selamat adalah posisi pengacara, asalkan
ia membela yang benar dan menuntut yang salah menurut Islam. Komisi tetap untuk
penelitian ilmiyah dan fatwa Saudi Arabia, yang diketuai Syaikh Abdul Aziz bin
Baz mengatakan: “Adapun pengacara di negara yang memberlakukan UU buatan
manusia yang bertentangan dengan syariat islam, maka:
1. Setiap pembelaannya
terhadap kesalahan, -padahal ia tahu akan kesalahan itu- dengan memanfaatkan UU
buatan manusia yang ada, maka ia kafir jika meyakini bolehnya hal itu atau
menutup mata meski bertentangan dengan Alquran dan Assunnah. Sehingga gaji yang
diambilnya pun haram.
2. Setiap pembelaannya terhadap kesalahan,
padahal iatahu kesalahan itu, tapi ia masih meyakini bahwa tidakannnya itu
haram, dan ia mau membelanya karena ingin mendapatkan bayaran darinya, maka ia
telah melakukan dosa besar, dan bayaran itu tidak halal baginya.
3. Adapun jika ia
membela orang yang ia pandang di pihak yang benar sesuai dengan dalil-dalil
syariat, maka amalnya berpahala, salahnya diampuni, dan berhak mendapat bayaran
dari pembelaan itu.
D.
KODE ETIK LAWYER DALAM ISLAM
Setelah dijelaskan landasan dan hubungan etika agama dalam
penegakkan hukum, selanjutnya akan dipaparkan suatu konsep dari suatu paradigma
etika profesi yang dikontruksi dari nilai-nilai atau prinsip-prinsip etika
profesi hakim dari lintasan sejarah secara normatif. Seperti dikatakan A.
Hanafi, sistem etika Islam selalu tercermin dalam konsep tauhid.Oleh karena itu
bagi seorang hakim dalam melaksanakan profesinya harus taat pada
prinsip-prinsip peradilan yang telah yang telah digariskan oleh al-Qur’an,
sebagai pertimbangan dalam menjalani profesinya, karena ketaatan terhadap
prinsip-prinsip akan memberikan jaminan terhadap terlaksananya tujuan hukum.
paradigma etika profesi dalam perspektif al-Qur’an tentang profesi
yang dilandasi aksioma-aksioma yang menjadi bahan analisis untuk menkaji kode
etik profesi hakim. Aksioma nilai tersebut ialah:
1.
Keadilan
Keadilan atau keseimbangan (equiblirium) menggambarkan dimensi
horizontal ajaran Islam yang berhubungan dengan keseluruhan hubungan antara
alam semesta. Sifat keadilan atau keseimbangan bukan hanya karakteristik
alami,melainkan merupakan karakteristik dinamis yang harus diperjuangkan oleh
setiap muslim dalam kehidupannya.
Kata keadilan dalam al-Qur’an menggunakan kata ‘adl dan qist. ‘adl
mengandung pengertian yang identik dengan samiyyah berarti penyamarataan
(equalizing), dan kesamaan (leveling). Penyamarataan dan kesamaan ini
berlawanan dengan zulm dan jaur (kejahatan dan penindasan).
2.
Kebenaran
Kebenaran selain mengandung makna kebenaran lawan kesalahan,
mengandung juga unsur kebajikan dan kejujuran.Nilai kebenaran adalah merupakan
nilai yang dianjurkan dalam ajaran Islam.Dalam al-Qur’an aksioma kebenaran yang
mengandung kebajikan dan kejujuran dapat ditegaskan atas keharusan memenuhi
perjanjian dalam melaksanakan profesi. Dalam kontek etika profesi hakim yang
harus di lakukan adalah dalam hal sikap dan prilaku yang benar yang meliputi
dari proses penerimaan perkara, pemeriksaan perkara serta menggali nilai-nilai
yang ada atau hukum-hukum yang ada untuk menyelesaikan perkara yang masuk
sampai kepada pemutusan perkara yang benar-benar sesuai hukum yang berlaku.
Kebajikan adalah
sikap ihsan, yang merupakan tindakan yang memberikan keuntungan bagi orang
lain. Dalam pandangan Islam sikap ini sangat dianjurkan, sedangkan kejujuran
dipandang sebagai suatu nilai yang paling unggul dan harus miliki oleh seluruh
masyarakat karena menjadi corak nilai manusia yang berakar.Dalam al-Qur’an
sendiri bukan memperlihatkan tujuan dari kebenaran tetapi memperlihatkan
proses. al-Qur’an menekankan adanya kebenaran suatu profesi yang dilandasi oleh
kebaikan dan kejujuran..
3.
Pertanggungjawaban
Kebebasan apapun yang terjadi tanpa batasan, pasti menuntut adanya
pertanggungjawaban dan akuntabilitas.Untuk memenuhi keadilan, kebenaran, dan
kehendak bebas maka perlu adanya pertanggungjawaban dalam tindakannya.Secara
logis aksioma terakhir ini sangat berkaitan erat dengan aksioma kehendak
bebas.Ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan
bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya.
Al-Qur’an
menegaskan :
منيشفعشفاعةحسنةيكنلهنصيبمنهاومنيشفعشفاعةسيئةيكنلهكفلمنهاوكاناللهعلىكلشيئمقيتا
Tanggung jawab merupakan suatu prinsip dinamis yang berhubungan
dengan perilaku manusia.Bahkan merupakan kekuatan dinamis individu untuk
mempertahankan kualitas kesetimbangan dalam masyarakat.Karena
manusia yang hidup sebagai mahkluk sosial, tidak bisa bebas, dan semua
tindakannya harus dipertanggungjawabkan.
[1][1] HR. Bukhari dari Siti Aisyah r.a. ( Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu wa al-Marjan, Jilid 3, (Beirut: Daar el- Fikr, 1990), hal. 185.
[2][3] Ibid, hal. 910.
[4],
[5] Sumber:
http://www.assalammadani.or.id/2016/09/pandangan-islam-mengenai-pekerjaan.html
[xxiii]
Muhammad dkk, Visi al-Qur’an Tentang Etika Dan Bisnis,cet. ke-1, (Jakarta :
Salemba Diniyah, 2002), hlm.12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar