Rabu, 21 Maret 2018

ETIKA KEHAKIMAN (AL-QUR’AN DAN SUNNAH)

ETIKA KEHAKIMAN
(Lawyer)
A.    PENGERTIAN HAKIM
Qhadi yang berasal dari kata  قضىيقضىقاض artinya memutus. Sedangkan menurut bahasa adalah orang yang bijaksana atau orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya. Adapun pengertian menurut syar'a yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselisihan dalam bidang hukum perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan, sebagaimana Nabi Muhammad SAW telah mengangkat qhadiuntuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat-tempat yang jauh, sebagaimana ia telah melimpahkan wewenang ini pada sahabatnya. Hal ini terjadi pada sahabat dan terus berlanjut pada Bani Umayah dan Bani Abbasiah, diakibatkan dari semakin luasnya wilayah Islam dan kompleknya masalah yang terjadi pada masyarakat, sehingga diperlukan hakim – hakim untuk menyelesaikan perkara yang terjadi.
Hakim sendiri adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.Sedangkan dalam Undang-undang kekuasaan kehakiman adalah penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.Dengan demikian hakim adalah sebagai pejabat Negara yang diangkat oleh kepala Negara sebagai penegak hukum dan keadilan yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang telah diembannya menurut Undang-undang yang berlaku.
         Adapun pengertian qadhi sendiri ada beberapa makna yaitu :
a.       Menyelesaikan seperti dalam Firman Allah :

فلماقضىزيدمنهاوطرازوجناكها

b.      Menunaikan dalam firman Allah

فإذاقضيةالصلوةفانتشروافىالأرض...
       c. Menghalangi atau mencegah yang artinya hakim bisa melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar, menolong yang teraniaya dan menolak kez}oliman yang merupakan kewajiban.

B.     DASAR HUKUM ETIKA KEHAKIMAN (AL-QUR’AN DAN SUNNAH)
Pengadilan yang mandiri (independent), netral (tidak berpihak) dan kompeten merupakan salah satu unsur penting dalam sebuah Negara yang berdasarkan hukum.Karena itu, pengadilan yang memiliki semua kriteria dimaksud, dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia.Sebagai aktor utama lembaga peradilan, posisi dan peran hakim menjadi sangat penting, terutama segala kewenangannya.Melalui putusannya, seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikian seseorang, mencabut kebebasan warga Negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, bahkan dapat memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang.Semua kewenangan Pengadilan dimaksud, harus dilakukan dalam menegakkan hukum untuk mewujudkan keadilan.Putusan Pengadian yang diucapkan oleh Hakim “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan bahwa kewajiban menegakkan hukum tidak hanya dipertanggung-jawabkan secara horizontal kepada sesema manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Salah satu yang menjadi sorotan dalam masalah penegakan hukum dan penyelenggaraan pengadilan adalah kelemahan kinerja, kualitas dan intergritas hakim.Hal ini menyebabkan kepercayaan masyarakat menurun terhadap lembaga PengadilanPeradilan di dalam hukum Islam dikenal dengan istilah “al-Qadla”.Dasar hukum peradilan/qadla, secara implisit terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain Surah Shad ayat 36 tentang perintah memberikan putusan dengan adil di antara sesama manusia.
Kalau ditelaah Kitab Suci Al-Qur’an, maka ditemukan ayat-ayat di dalam Al-Qur’an yang membicarakan masalah perilaku aparat penegak hukum (hakim/qadli)  dalam bertindak dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan dalam penegakan hukum.Hal dimaksu, Hakim dalam pandangan hukum Islam merupakan sebuah tugas luhur sebagai pencipta keadilan yang dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT, menuntut suatu persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang hakim.
Peraturan perundang-undangan mensyaratkan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh hakim seperti : jujur, merdeka, bebas dari pengaruh baik dari dalam maupun dari luar, adil dan berkelakuan tidak tercela. Sifat tersebut pada dasarnya adalah selaras dan merupakan butir-butir ajaran Islam.Oleh karena itu, penyimpangan yang dilakukan oleh seorang hakim dalam menjalankan profesinya pada dasarnya adalah penyimpangan terhadap hukum Islam.Hal ini sesuai sabda Muhammad Rasulullah SAW telah memberikan contoh suri tauladan yang baik bagi hakim yang adil. Hadits dimaksud sebagai berikut :

لَوْأَنَّفَاطِمَةَبِنْتَمُحَمَّدٍسَرَقَتْ،لَقَطَعْتُيَدَهَا
Artinya : “Seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti potong tangannya”[1]
Kode Etik Profesi Hakim dan Pedoman Perilaku Hakim (Judicial Code of Conduct) dalam menangani dan memutus perkara.[2]
Dalam khazahan Fiqh al-Islamy, Kode Etik Profesi Hakim mendapat perhatian yang mendalam.Sebelum menentukan perilaku para Hakim (Adab al-Qudlat), fara fuqaha menentukan terlebih dahulu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Qadli (Hakim). Imam Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah Al-Maqdisy di dalam kitabnya Al-Muqny  mensyaratkan sepuluh sifat yang harus dimiliki oleh seorang hakim, yaitu : baligh, berakal, laki-laki, merdeka, muslim, adil, bisa mendengar, melihat, berbicara dan berijtihad.
seorang hakim harus membiasakan diri (mulazamah) dengan adab-adab (tingkah laku) tertentu demi lancar dan baiknya suatu proses persidangan dalam rangka penegakan keadilan masyarakat. tentang sifat-sifat dan sikap-sikap yang harus dimiliki oleh seorang hakim. Diantara sifat-sifat tersebut adalah : bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, jujur, adil, bijaksana dan berkelakuan tidak tercela. Adapun sikap-sikapnya adalah : tidak memihak, tegas, sopan dan sabar serta memberi tauladan yang baik.
C.    PANDANGAN ISLAM TERHADAP LAWYER

Menjadi pengacara yang membela orang yang dizalimi, boleh dan tidaknya, dikembalikan pada status pembelaannya terhadap hak orang tersebut.Jika hak orang yang dizalimi tersebut merupakan hak yang ditetapkan oleh syariah. Contoh: seorang pengemban dakwah, khatib atau ulama yang menyampaikan dakwah, kemudian ditangkap dan dipenjara, maka dengan tegas Islam menyatakan orang tersebut harus dibela dan dikeluarkan dari penjara, karena kebebasan untuk menyampaikan dakwah dan kalimat al-haq adalah hak yang ditetapkan oleh syariah. Dalam kasus seperti ini, pembelaan yang dilakukan oleh pengacara untuk menghilangkan kezaliman dan membebaskannya dari penjara merupakan pekerjaan yang bukan saja dibolehkan oleh syariah, tetapi hukumnya juga wajib. Contoh lain, ketika ada orang yang menjadi korban pencurian atau perampokan, dengan tegas Islam menetapkan bahwa harta orang tersebut yang dicuri harus dikembalikan. Karena itu, jika seorang pengacara membela orang seperti ini dalam rangka menuntut haknya, maka profesi dan tindakan pengacara dalam membela kasus seperti ini merupakan profesi dan tindakan yang dibolehkan., Qadhi adalah pekerjaan yang sangat berat dan beresiko dalam Islam, Rasulullah –shallallahu’alaihi wasallam– memperingatkan umatnya agar berhati-hati dalam mengemban amanat itu.
“Apakah Hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki?!Siapakah yang lebih baik (hukumnya) dari Allah, bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?!” (QS. Al-Ma’idah: 50) Karena pekerjaannya haram, maka gaji yang didapat pun jadi haram, wallahu a’lam. Ketiga: Insya Allah masih banyak pekerjaan lain yang mudah, halal, dan menghasilkan. Tapi jika terpaksa harus berkecimpung dengan dunia hukum, maka yang lebih aman dan selamat adalah posisi pengacara, asalkan ia membela yang benar dan menuntut yang salah menurut Islam. Komisi tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa Saudi Arabia, yang diketuai Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan: “Adapun pengacara di negara yang memberlakukan UU buatan manusia yang bertentangan dengan syariat islam, maka:
1.      Setiap pembelaannya terhadap kesalahan, -padahal ia tahu akan kesalahan itu- dengan memanfaatkan UU buatan manusia yang ada, maka ia kafir jika meyakini bolehnya hal itu atau menutup mata meski bertentangan dengan Alquran dan Assunnah. Sehingga gaji yang diambilnya pun haram.
 2.      Setiap pembelaannya terhadap kesalahan, padahal iatahu kesalahan itu, tapi ia masih meyakini bahwa tidakannnya itu haram, dan ia mau membelanya karena ingin mendapatkan bayaran darinya, maka ia telah melakukan dosa besar, dan bayaran itu tidak halal baginya.
3.      Adapun jika ia membela orang yang ia pandang di pihak yang benar sesuai dengan dalil-dalil syariat, maka amalnya berpahala, salahnya diampuni, dan berhak mendapat bayaran dari pembelaan itu.

D.    KODE ETIK LAWYER DALAM ISLAM
Setelah dijelaskan landasan dan hubungan etika agama dalam penegakkan hukum, selanjutnya akan dipaparkan suatu konsep dari suatu paradigma etika profesi  yang dikontruksi  dari nilai-nilai atau prinsip-prinsip etika profesi hakim dari lintasan sejarah secara normatif. Seperti dikatakan A. Hanafi, sistem etika Islam selalu tercermin dalam konsep tauhid.Oleh karena itu bagi seorang hakim dalam melaksanakan profesinya harus taat pada prinsip-prinsip peradilan yang telah yang telah digariskan oleh al-Qur’an, sebagai pertimbangan dalam menjalani profesinya, karena ketaatan terhadap prinsip-prinsip akan memberikan jaminan terhadap terlaksananya tujuan hukum.
paradigma etika profesi dalam perspektif al-Qur’an tentang profesi yang dilandasi aksioma-aksioma yang menjadi bahan analisis untuk menkaji kode etik profesi hakim. Aksioma nilai tersebut ialah:
1.       Keadilan
Keadilan atau keseimbangan (equiblirium) menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam yang berhubungan dengan keseluruhan hubungan antara alam semesta. Sifat keadilan atau keseimbangan bukan hanya karakteristik alami,melainkan merupakan karakteristik dinamis yang harus diperjuangkan oleh setiap muslim dalam kehidupannya.
Kata keadilan dalam al-Qur’an menggunakan kata ‘adl dan qist. ‘adl mengandung pengertian yang identik dengan samiyyah berarti penyamarataan (equalizing), dan kesamaan (leveling). Penyamarataan dan kesamaan ini berlawanan dengan zulm dan jaur (kejahatan dan penindasan).


2.      Kebenaran
Kebenaran selain mengandung makna kebenaran lawan kesalahan, mengandung juga unsur kebajikan dan kejujuran.Nilai kebenaran adalah merupakan nilai yang dianjurkan dalam ajaran Islam.Dalam al-Qur’an aksioma kebenaran yang mengandung kebajikan dan kejujuran dapat ditegaskan atas keharusan memenuhi perjanjian dalam melaksanakan profesi. Dalam kontek etika profesi hakim yang harus di lakukan adalah dalam hal sikap dan prilaku yang benar yang meliputi dari proses penerimaan perkara, pemeriksaan perkara serta menggali nilai-nilai yang ada atau hukum-hukum yang ada untuk menyelesaikan perkara yang masuk sampai kepada pemutusan perkara yang benar-benar sesuai hukum yang berlaku.
            Kebajikan adalah sikap ihsan, yang merupakan tindakan yang memberikan keuntungan bagi orang lain. Dalam pandangan Islam sikap ini sangat dianjurkan, sedangkan kejujuran dipandang sebagai suatu nilai yang paling unggul dan harus miliki oleh seluruh masyarakat karena menjadi corak nilai manusia yang berakar.Dalam al-Qur’an sendiri bukan memperlihatkan tujuan dari kebenaran tetapi memperlihatkan proses. al-Qur’an menekankan adanya kebenaran suatu profesi yang dilandasi oleh kebaikan dan kejujuran..
3.      Pertanggungjawaban
Kebebasan apapun yang terjadi tanpa batasan, pasti menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas.Untuk memenuhi keadilan, kebenaran, dan kehendak bebas maka perlu adanya pertanggungjawaban dalam tindakannya.Secara logis aksioma terakhir ini sangat berkaitan erat dengan aksioma kehendak bebas.Ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya.
            Al-Qur’an menegaskan :
منيشفعشفاعةحسنةيكنلهنصيبمنهاومنيشفعشفاعةسيئةيكنلهكفلمنهاوكاناللهعلىكلشيئمقيتا
Tanggung jawab merupakan suatu prinsip dinamis yang berhubungan dengan perilaku manusia.Bahkan merupakan kekuatan dinamis individu untuk mempertahankan kualitas kesetimbangan dalam masyarakat.Karena manusia yang hidup sebagai mahkluk sosial, tidak bisa bebas, dan semua tindakannya harus dipertanggungjawabkan.





[1][1] HR. Bukhari dari Siti Aisyah r.a. ( Fuad Abdul Baqi,  Al-Lu’lu wa al-Marjan, Jilid 3,  (Beirut: Daar el- Fikr, 1990),  hal. 185.

[2][3] Ibid, hal. 910.
[4], [5] Sumber: http://www.assalammadani.or.id/2016/09/pandangan-islam-mengenai-pekerjaan.html
[xxiii] Muhammad dkk, Visi al-Qur’an Tentang Etika Dan Bisnis,cet. ke-1, (Jakarta : Salemba Diniyah, 2002), hlm.12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar